sedikit mau sharing nih, ini cerpen pertamaku yang berhasil aku selesain 28 desember 2009. (lama juga ea, he)
kebetulan ada tugas bahasa indonesia waktu kelas 12 sma, yaudah buat cerpen ae..
ini cerpen asli buatan ku bukan copas di internet luh, (sedikit ada kebanggaan) :D
moga enjoy ea baca nya :)
Perkenalkan, namaku Andita Putri. Sekarang aku duduk di kelas XII IPA. Aku hanyalah siswa sederhana, tapi pemalas dan suka terlambat, xixixi. Tak punya prestasi menonjol yang bisa aku banggakan pula. Dikelas, aku tak terlalu pintar, tapi aku juga bukan siswa terbodoh. Dan kehidupanku dimulai.
Sang mentari telah terbit dari peraduannya, suara burung nan merdu menyambut datangnya hari. Waktu menunjukan pukul 06.00 pagi, Aku masih meringkuk dibalik selimut yang tebal dan hangat. Suara ayam berkokok tak mampu mengusik tidur pulas ku bahkan suara alarm yang keras pun di atas bantalnya tak mampu mengusik tidur ku, sekilas setelah alarm berbunyi Aku hanya terbangun namun tak membuka kedua mata, hanya kedua tangan yang coba mencari-cari suara alarm itu. Alarm pun dimatikan, namun Aku masih tetap meringkuk menikmati tidurku.
Semalam aku tidur terlalu malam, sibuk mengerjakan PR dan tugas-tugas yang harus dikumpulkan besok paginya. Entah jam berapa aku baru bisa tidur semalam karena yang terlintas dipikiranku hanya mengerjakan sampai selesai PR dan tugas-tugasnya. Setelah PR dan tugas-tugasku selesai Aku langsung menuju pulau kapukku tanpa membereskan meja belajar terlebih dahulu. Meja belajar masih berantakan sisa-sisa hasil mengerjakan tugas semalam.
Aku bangun dari tidurku. Lelah rasanya, aku tak ingin membuka mataku setelah semalam suntuk aku mengerjakan PR ku. Aku berangkat sekolah jam 6.30. Sekitar 25 menit waktu yang diperlukan untuk sampai disekolah. Tapi sial kali ini macet, tepatnya bukan kali ini saja sih aku terlambat. Biasa, aku harus merayu pak satpam, dan tak lupa sang guru BK yang tak kalah anehnya untuk bisa masuk. Belum lagi, guru pelajaran pertama apa yang akan aku temui.
Sial, sekarang pelajaran Pak Ridho. argh.... dimulai sudah kesialan ku. Ku ketok juga itu pintu kelas dengan hati malas.
“Masuk!’, seru ‘beliau’
Aku pun masuk dengan senyuman yang, ‘sedikit’ memaksa. “Maaf Pak.” senyumku lagi.
“Maaf, maaf, sudah berapa kali kamu telat jam saya?” teriaknya lantang.
“Aduh, maaf deh pak, saya tadi sebenarnya berangkat seperti biasa, tapi sialnya macet.” belaku pada Pak Ridho.
Pak Ridho seperti tidak menghiraukan penjelasan ku lagi. “Kan kemaren bapak sudah bilang, kalau tahu rumahnya jauh berangkat yang lebih pagi, tuh liat teman-teman mu mereka juga tidak terlambat. Alasan saja kamu. Pokoknya kamu keluar dari kelas saya, kamu sudah sering terlambat.” garangnya lagi.
Dengan terpaksa aku keluar kelas, nggak terpaksa juga sih, hehehe.. akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke perpus aja sambil menunggu jam pelajaran Fisika selesai.
Aku mengambil handphone ku disaku. Ternyata, ada sms dan missed call. Aku melihatnya. Wow, dan ternyata dan tak ku tunggu itu dari Doni, dia teman lamaku, lebih tepatnya mantan pacar ku sewaktu dulu aku kelas X, kita putus karena aku dulu merasa nggak nyaman dengannya. Dia terlalu protektif selalu mengatur-atur aku, aku tahu niatnya baik tapi bagiku itu lebay. Dia sudah 2 bulan ini pdkt lagi, tapi aku nggak pernah terlalu respon padanya. Dia selalu saja mengganggu hidupku, sms lah, telfon lah, seolah dia tahu aku pergi kemana, dan ada dia. Sampai bosen liat dia.
Sekitar satu jam aku sms an dengan Doni. Lumayan lah, ngisi waktu luang, daripada BT nggak jelas nunggu jam nya Pak Ridho selesai. Tapi jujur, aku simpati juga dengan usahanya Doni untuk mendapatkan hatiku lagi. Padahal, sudah berapa kali aku menolaknya. Aku takut aku bisa luluh. He_
Aku masuk ke kelas ku, sahabat ku menyorakiku. Haha, biasa lah. Aku punya 2 sahabat disini. Mereka adalah Fira dan Daisy. Aku senang bisa mengenal mereka. Mereka begitu baik padaku.
“Hoi, And!” Fira menyapaku.
“hmm, iya..” sambil aku menaruh tas ku di meja.
“Gila kamu telat terus. Ga kapok apa dimarahin Pak Ridho?”
“Laaa, kamu kan tau aku udah biasa, intinya udah kebal Fir.” Balasku sambil tersenyum.
Hari ini kulalui sama seperti biasanya. Bisa dikatakan semua kebutuhan yang aku perlukan terpenuhi. Ayahku seorang pegawai di salah satu bank swasta di kotaku dan ibuku seorang guru di salah satu Sekolah Menengah Pertama. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Aku masih punya dua orang adik kembar yang masih duduk di kelas VII SMP.
---
Hari ini aku berangkat sekolah seperti biasa dan hebatnya aku tidak terlambat, dan Pak Ridho kali ini menyanjungku. Haha akhirnya aku bias juga membuat Pak Ridho tidak marah padaku. Hari ini terlalu banyak tugas yang harus aku selesaikan sehingga aku akan pulang terlambat.
“Dais, kamu sudah mengerjakan tugas makalah Kimia belum?” Tanya ku pada Daisy yang sedang sibuk dengan laptop didepannya.
“Udah ni And.” Jawabnya tanpa memalingkan muka padaku.
“Wah bagus, aku boleh ngopi nggak?” pinta ku pada Daisy, dia memang anaknya rajin. Tidak sepertiku. Aku memang termasuk pemalas untuk mengerjakan tugas-tugas selalu saja menggampangkan sesuatu. Padahal Ayah selalu mengingatkanku untuk tidak menggampangkan segala hal, karena suatu saat akan menemui hambatan, dan tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan mulus dan tanpa hambatan.
“And, kamu ko masih kayak dulu sih? Kamu coba kerjain sendiri dulu. Kalau nggak bias baru Tanya. Jangan semua hal kamu gampangin. Nanti kamu terbiasa seperti itu. Itu nggak bagus, nanti kalau kamu menemui masalah dan nggak ada yang bisa bantu gimana? Maaf buat kali ini aku nggak ngasih And, itu buat pelajaran buat kamu.” Daisy mencoba menceramahi kali ini.
Aku benar-benar sebal pada Daisy, karena besok paginya aku harus mengumpulkan tugas makalah Kimia tersebut. Aku pulang dengan suasana hati yang tidak karuan karena Daisy begitu tega padaku.
Begitu sampai dirumah, aku sangat kaget karena aku diberi kabar yang sangat tidak menggembirakan. Ayahku masuk rumahsakit, Dalam bnakku sangat kacau. Mungkin penyakit Ayah kambuh lagi, Ayah memang mengidap penyakit asma sejak aku masih kecil, tetapi penyakit mengerikan itu tak pernah lagi muncul dalam kehidupan kami. Kenapa sekarang harus menmpakan batang hidungnya lagi? Aku benar-benar sangat sedih mendengar kabar buruk itu.
Aku langsung pergi kerumah sakit untuk menjenguk Ayah. Disana kedua adik kembarku tertidur di sofa terlihat seperti habis menangis dan aku menghampiri Ibu yang duduk berada didekat bangsal Ayah. Ibu terlihat lesu dan terlihat air mta telah kering di kedua pipinya yang sudah mulai mencekung.
“Bagaimana keadaan Ayah ma?” tanyaku pada Ibu.
“Penyakit Ayah kambuh lagi nak, sekarang kamu harus bisa mandiri ya nak, jangan selalu mengandalakan kedua orang tuamu.” Jawab Ibu sambil memandang Ayah.
Aku pun bergantian dengan Ibu menggantikan menunggui Ayah di Rumah sakit. Sampai-sampai aku lupa akan tugas membuat makalah Kimia yang harus ku kumpulkan hari ini.
Dan akhirnya aku kena marah guruku. Aku pun tak bisa berbuat apa-apa. Aku teringat kembali akan petuah Ayah dan kata-kata Daisy untuk tidak menggampangkan segala urusan dan menunda-nunda tugasku.
“And, maaf iya kalau akhirnyaa seperti ini, bukan maksud aku untuk nggak membantu kamu, dan kamu malah terkena marah Pak Guru.” Sesal Daisy padaku.
“ Iya Dais, tidak apa-apa kok. Ini mungkin untuk pelajaran buat aku.” Jawabku lesu.
“And, aku dengar Ayah kamu masuk rumah sakit. Apa itu benar? Tanya Fira.
“Owg, iya.” Jawabku lagi.
“Kok kamu nggak bilang ke kita?”
Aku memang tidak memberitahukan kepada siapa-siapa tentang kabar ayahku masuk rumah sakit. Tetapi tidak heran jika mereka tahu tetang kabar itu, karena ayah ku memang termasuk orang terpandang di kota ku.
---
Sudah seminggu berlalu dan keadaan ayahku juga belum membaik. Setiap dua hari sekali aku menggantikan ibu bergantian menjaga Ayah. Untung saja jarak antara rumah sakit dengan sekolah tidak terlalu jauh sehingga tidak begitu merepotkan.
Hari ini tugasku menjaga ayah. Jenuh juga rasanya jika hanya menunggu ayah didalam kamar. Aku pun sering jalan-jalan menyusuri koridor-koridor rumah sakit sekedar cari angin.
Sesekali aku melihat peti mati dibawa menuju ke kamar jenazah diiringi jerit tangis keluarga yang ditinggalnya tersebut. Aku pun malah membayangkan yang tidak-tidak terjadi dikeluargaku. Langsung seketika itu juga ku tepis semua fikiranku.
Aku pun kembali menyusuri koridor-koridor rumah sakit. Aku tak sadar jika aku terjatuh dan bertabarakan dengan seseorang.
“Andita, kamu lagi ngapain disini?” Tanya seseorang yang sudah tidak asing lagi suaranya ku dengar.
“Ah iya.” aku pun langsung membenarkan posisi berdiriku debantu seorang pria dihadapanku. Dan kali ini aku melihatnya. “Don? Ngapain kamu disini?” tanyaku pada seseorang yang tentu saja aku megenalnya.
“itu kan pertanyaan ku buat kamu Dit.” Gurau Doni.
“Owg iya.” Senyumku padanya. “Aku lagi nungguin Ayahku disini Don.” Jawabku.
“Memangnya kenapa Ayahmu kenapa Dit?”
“Ayahku lagi sakit Don. Kalau kamu sedang apa?”
“Sakit apa? Itu pun kalau boleh aku tanya, nggak dijawab pun nggak papa Dit. Aku lagi nebus obat buat adikku yang sedang sakit.” Jawabnya sambil memamerkan bungkusan plastic putih padaku.
“Sakit asma. Adik kamu sakit apa?”
“Sudah berapa lama dirawat? Adikku sakit Tipus, tapi sudah lumayan sembuh ko.”
“Sekitar seminggu ini.”
“Boleh nggak aku njenguk calon mertua?” Ledek Doni. Aku memang nyaman berada didekat Doni. Dia selalu saja bisa membuatku tersenyum sekalipun aku sedang bersedih. Itu yang membuatku merasa nyaman didekatnya. Kami berjalan menuju kamar dimana Ayahku dirawat sambil bercanda tawa sejenak melupakan kesedihanku.
Kami pun berjalan menuju kamar rawat inap ayah berada. Sejenak aku tertegun langkah ku terhenti. Disana ada perawat dan dokter yang hilir mudik masuk ke salah satukamar. Saat itu pikirku melayang entah kemana. Apa yang terjadi disana? Apakah pikiran buruk yang melanda pikiranku? Ah tidak tidak. Buang semua pikiran itu, buang jauh Andita. Aku sekarang ada diduniaku yang menyedihkan.
“Apa yang terjadi sus?” Tanya Doni pada salah satu perawat yang akan masuk kedalam kamar tersebut yang seketika menyadarkanku.
“Pasien kamar ini telah dipanggil ke Rahmatulloh.” Jawab perawat itu singkat meninggalkan kami.
Seketika itu juga jantungku seolah berhenti berdetak. Syok. Aku langsung lunglai ke lantai. Aku tak bisa berkata apapun. Sampai akhirnya aku berhasil mengatakan satu kalimat, “inalilahi wainailaihi roji’un”.
Doni mencoba menghiburku dan membantuku bangkit menuntun ku masuk ke dalam kamar dimana ayahku “dulu” atau tepatnya “tadi sebelum aku meninggalkan kamar” dirawat. Aku hamper hamper tak bisa berjalan. Tubuhku lemas, serasa baru saja terhempas dari gunung tertinggi dan jatuh didasar samudera. Aku tak percaya dengan apa yang aku dengar tadi.
Disana, terbujur kaku tubuh ayahku. Wajahnya pucat pasi bak kapas dan badannya dingin. Disamping tubuh kaku ayahku, ibu ku mendekap erat tubuh ayahku. Meneteskan air mata. Kedua adik kembarku, mereka menangis keras, mungkin mereka terlalu larut dalam suasana.
Sekarang, aku tak sanggup lagi menahan untuk tidak meneteskan air mataku. Aku mendekap erat ayahku dan mencium pipi ayahku. Rasanya dunia ini sudah hancur. Aku sangat merasa bersalah. Kenapa aku tadi meninggalkan ayahku sedangkan ayahku sedang menghadap sakaqratul maut? Kenapa aku malah pergi. Aku pun tak melihat ayahku saat masih hidup untuk terakhir kalinya. Akupun belum sempat meminta maaf atas semua kesalahan ku pada ayah? Begitu bodohnya aku, begitu malnagnya aku. Aku sangat membenci diriku.
“Ayah, maafin semua salahnya Andita. Andita pun belum sempat bilang ke Ayah. Andita sayang Ayah. Andita saying Ayah.” Aku menangisi kepergian ayah dan kebodohanku. Tapi aku mencoba ikhlas menerima ini semua. Mungkin ini cobaan untuk ku dan keluargaku.
Ibu mencoba menenangkanku. “Nak, coba untuk ikhlas iya.” Kata ibu terhenti. “tadi ayah sempat berpesan pada mama untuk menyampaikannya pada mu, ‘kamu harus bisa menaungi dan menjaga kedua adikmu, kamu akan jadi pengganti ayah walaupun kamu perempuan. Maafkan ayah memberimu beban yang mungkin terasa berat untuk umurmu.’ Begitu pesan ayah nak.” Ibu pun sekarang terlihat lebih tegar dibanding sebelumnya.
---
Sebulan telah berlalu setelah kepergian Ayah. Aku pun kembali menata kehidupanku seperti semula walau tanpa ayah, tapi aku yakin. Ayah selalu mendoakan aku untuk jadi yang terbaik dan sedang mengawasiku disana.
“Dek, cepat naik. Udah siang nih. Mba nggak mau terlambat-terlambat lagi.” Teriakku pada adik-adikku. Sekarang aku menggantikan ayah mengantar jemput kedua adikku.
“Cie cie mba sekarang rajin iya. Dulu aja terlambat terus.” Kata Dea menimpali ku sambil membuka pintu mobil belakang.
“Yee itu kan dulu. Sekarang udah beda.” Balasku sambil mengejek adikku Dea.
Ya, aku sudah bertekad pada diriku sendiri. Aku tidak boleh seperti sebelum ditinggalkan Ayah. Pemalas, selalu terlambat berangkat sekolah, menggampangkan segala sesuatu dan menunda-nunda pekerjaan. Hari ini aku bertekad aku ingin menjadi orang sukses agar aku bisa menaungi dan memberi contoh kedua adikku menggantikan ayah. Dan membahagiakan keluargaku. Bila perlu membantu ibu mencari nafkah kelak, karna sekarang aku belum diperbolehkan.
“Nak, masalah uang, tidak usah kamu pikirkan dahulu, insyaalloh masih ada cukup uang untuk mu dan adik-adikmu sampai kamu lulus kuliah nanti.” Tu yang dikatakn ibu dua minggu yang lalu.
Ya, sekarang aku harus semangat belajar menuntut ilmu untuk meraih cita-citaku demi orang-orang yang aku sayangi.
---
“Sayang, mana kebaya mama. Perasaan tadi mama gantungin disini.” Teriak ibu entah pada putranya yang mana ia bertanya.
“Ih mamah, ini di kamar mba mah, mamah pelupa.” Jawabku.
“Oia, mama lupa. Dea Dafi. Cepetan ini udah siang. Pake baju yang bagus ya. Mamah mau dandan dulu.” Tumben sekali mamah seperti itu.
Hari ini, aku di wisuda. Aku sebentar lagi menjadi seorang sarjana jurusan Teknologi Informatika. Sekarang akupun sudah bekerja di salah satu perusahaan operating system. Dan aku bisa membiayai kedua adikku dengan hasil gajiku dan tentu saja membuat ibu bangga padaku.
“Assalamualaikum.”
Terdengar suara dari luar yang tentu saja aku mengenal suara itu. Ya, dia adalah orang yang aku cintai setelah keluargaku. Dia juga penyemangat hidupku hingga aku seperti ini selain orang tua ku, kedua adikku dan sahabat-sahabatku (Fira, Daisy, tentu saja aku masih bersahabat hingga sekarang dengan mereka. Mereka juga sahabat-sahabat yang aku sayang.) dan aku yankin kalian tahu siapa orang yang aku cinta sekarang.
“Waalaikumsalam nak, tunggu sebentar nak, ini Dea dan Dafi belum juga selesai berdanadan. Masuk saja nak.” Teriak ibu dari dalam kamar.
“Haduh mamah, orang mamah yang belum selesai dandan juga.” Gerutuku. Aku pun langsung mencium tangan lelaki itu.
“Hai mas Doni.” Sapa Dead an Dafi bersamaan.
Dialah orang yang aku sayang. DONI. Aku mencintainya. Dia selalu ada di saat aku membutuhkannya. Dia juga pahlawanku.
Kami pun menuju gedung diakannya wisuda ku kali ini. Ditemani kedua adik, ibu ku tercinta dan Doni super hero ku, tentu saja ayah yang ada disana. Pasti ayah akan bangga padaku jika dia ada disini sekarang.
Ditemani satu music kesukaanku yang mengalun indah menemani kami menuju pintu kesuksesanku. . .
There's a hero if you look inside your heart
You don't have to be afraid of what you are
There's an answer if you reach into your soul
And the sorrow that you know will melt away
And then a hero comes along
With the strength to carry on
And you cast your fears aside
And you know you can survive
So when you feel like hope is gone
Look inside you and be strong
And then you'll finally see the truth
That a hero lies in you
It's a long road when you face the world alone
No one reaches out a hand for you to hold
You can find love if you search within your self
And the empitiness you felt will disappear
# Lord knows dreams are hard to follow
But don't let anyone tear them away
Hold on, there will be tomorrow
In time you'll find the way
kalau mau copas boleh ko, asal dicantumin blog ini ea.. :)
Share